Menolong Orang Musyrik dalam Memerangi Kaum Muslimin
Allah Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka” [QS. Al-Maidah: 51]
Ayat ini menetapkan akan kafirnya orang yang menolong orang-orang kafir dari tiga sisi.
Pertama: Allah Ta’ala berfirman, “sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain.”
Ibnu Jarir berkata, “Adapun kalam-Nya “sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain” maksudnya adalah bahwa sebagian Yahudi adalah penolong bagi sebagian yang lain dalam menghadapi kaum muslimin, bersatu padu saling bergandeng tangan. Begitu juga dengan Nashrani, sebagian dari mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain dalam menghadapi orang-orang yang menyelisihi agama dan millah mereka.
Dia hendak memberitahu hamba-hamba-Nya yang beriman bahwa barangsiapa yang menjadikan mereka (Yahudi atau Nashrani) atau sebagian mereka sebagai wali, maka dia layaknya wali mereka atas musuh mereka, yaitu orang-orang mukmin. Allah Ta’ala menyebutkan kepada orang-orang beriman, hendaknya kalian juga saling berwali sebagaimana mereka saling berwali dan perangilah Yahudi dan Nashrani sebagaimana mereka memerangi kalian. Sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain karena siapa saja yang menjadikan mereka sebagai wali maka berarti telah mengumumkan perang kepada orang-orang beriman, yang berkonsekuensi putus perwaliannya dan harus berlepas diri darinya.”
Kedua: Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.”
Ibnu Jarir berkata, “Allah Ta’ala memaksudkan dengan kalam-Nya “Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka”, yaitu bahwa barangsiapa yang bertawalli kepada Yahudi dan Nashrani, bukan kepada orang-orang beriman, maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka. Karena sesungguhnya orang yang mengangkat mereka sebagai pemimpin dan menolong mereka dalam menghadapi kaum muslimin maka ia termasuk dalam pemeluk agama dan millah mereka.”
Ketiga: Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”Zalim disini adalah zalim akbar seperti dalam kalam Allah Ta’ala “Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” [QS. Al-Baqarah: 254]. Makna ini ditunjukkan oleh permulaan ayat dan ayat-ayat setelahnya.
Ibnu Jarir berkata, “Maksudnya bahwa Allah tidak setuju terhadap orang yang meletakkan kepemimpinan pada Yahudi dan Nashrani dan mengangkat mereka sebagai pemimpin serta membantu dan menolong mereka padahal mereka memusuhi Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Karena siapa yang menjadikan mereka pemimpin maka berarti ia telah mengumumkan perang kepada Allah,Rasul-Nya, dan orang-orang beriman.”
Beliau juga berkata, “Menurut kami, pendapat yang benar mengenai hal itu adalah bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala telah melarang seluruh orang-orang beriman dari bersekutu dan saling tolong-menolong dengan Yahudi dan Nashrani atas orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia memberi tahu bahwa orang yang mengambil mereka sebagai penolong, sekutu, dan wali, selain Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, maka berarti ia telah memihak mereka atas Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, dan bahwa Allah serta Rasul-Nya telah berlepas diri darinya.”
Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya ini sesuai dengan zhahirnya, bahwa dia adalah kafir termasuk dari golongan orang-orang kafir, ini adalah kebenaran yang tidak berselisih di dalamnya dua orang pun dari kaum muslimin. “ [Al Muhalla 11/17].
Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya dalil-dalil yang menunjukan kafirnya seorang muslim apabila berbuat syirik kepada Allah, atau bersama orang-orang musyrik (memerangi) kaum muslimin, walau tidak melakukan syirik, sangat banyak untuk bisa dibatasi, dari firman Allah dan sabda Rasul-Nya dan perkataan Ahlu Ilmi yang terpercaya.” [Ar-Rasail Asy-Syakhshiyah hal. 272].
Ulama juga telah menjelaskan bahwa bentuk muamalah dengan orang kafir itu ada 3 macam.
Pertama: Muamalah yang menyebabkan kafir. Sebagian ahli ilmu mengistilahkannya dengan at-tawalli. Segala sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil bahwa hal itu adalah kafir dan murtad maka termasuk bagian dari at-tawalli ini, seperti mencintai agama orang kafir, suka dengan kemenangan mereka, dan contoh-contoh semisalnya, termasuk membantu mereka dalam melawan kaum muslimin.
Kedua: Muamalah yang diharamkan tetapi tidak menjadikan kafir. Sebagian ahli ilmu mengistilahkannya dengan al-muwalah. Segala sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil bahwa hal itu adalah haram namun tidak sampai kafir maka termasuk dari al-muwalah ini, semisal memberikan penghormatan kepada mereka dalam majelis-majelis, lebih dulu beruluk salam pada mereka, mencintai mereka tapi tidak sampai batas tawalli, dan yang sepertinya.
Ketiga: Muamalah yang diperbolehkan, yang tidak termasuk dalam al-muwalah, yaitu semua hal yang diperbolehkan oleh dalil, seperti berbuat adil kepada selain kafir yang diperangi, menyambung silaturahim dengan kerabat yang kafir, dan yang semisalnya.
Perbedaan antara yang kedua dan ketiga disebutkan oleh al-Qarafi di dalam kitabnya al-Furuq, ujarnya, “Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala melarang kita menunjukkan rasa kasih sayang (tawaddud) kepada ahli dzimmah dalam kalam-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu….‟ [QS. Al-Mumtahanah: 1]. Di sini Allah melarang al-muawalah dan tawaddud kepada mereka.
Di ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.‟ [QS. Al-Mumtahanah: 8]. Maka nash-nash ini harus dikompromikan, yaitu bahwa berbuat baik terhadap ahli dzimmah adalah keharusan, namun tawaddud dan al-muwalah adalah terlarang.” Kemudian katanya, “Cara membedakannya yaitu, bahwa ikatan dzimmah (jaminan) menimbulkan hak-hak yang harus kita tunaikan, karena mereka berada di bawah perlindungan kita, di bawah jaminan Allah, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasalam, dan Dinul Islam. Sehingga kita harus bersikap baik kepada mereka dengan semua perkara yang zhahirnya tidak menunjukkan kecintaan hati atau mengagungkan syiar-syiar kafir. Jika perbuatan kita ternyata menunjukkan adanya dua hal itu maka termasuk dalam larangan yang tersebut dalam ayat itu dan ayat lainnya. Contoh yang memperjelas hal itu seperti jika kita berdiri menyambut dan melapangkan majelis ketika mereka datang, memanggilnya dengan nama-nama besar yang mengangkat statusnya, semua itu adalah haram. Begitu juga ketika kita bertemu mereka di jalan lalu kita menepi memberikan kelonggaran seperti kebiasaan ketika bertemu dengan pejabat atau seperti anak yang bertemu orang tuanya. Hal itu terlarang lantaran merupakan bentuk mengagungkan syiar kafir dan merendahkan syiar Allah Ta’ala, agama-Nya, serta merendahkan pemeluknya. Demikian juga hendaknya seorang muslim tidak menjadi pembantu mereka atau buruh upahan yang bisa diperintah dan dilarang sekehendaknya.”
Ujarnya lagi, “Adapun berbuat baik kepada mereka tanpa menampakkan kasih sayang dalam hati yaitu seperti bertindak lembut terhadap yang lemah, memberi makan yang kelaparan, memberi pakaian yang cukup, lunak ketika berbicara kepada mereka dikarenakan sikap lembut dan belas kasih bukan karena takut dan merendahkan diri, bersabar dengan gangguan karena bertetangga sekalipun mampu menghilangkannya namun bukan karena takut dan segan, mendoakan mereka agar diberi hidayah dan agar mereka dijadikan golongan orang yang bahagia serta menasehati mereka di setiap urusan. Semua itu kita lakukan bukan karena rasa segan dan menghinakan diri kita. Juga bahwa hendaknya kita selalu ingat bahwa mereka secara watak memang akan terus membenci kita dan mendustakan Nabi kita. Jika mereka memiliki kemampuan niscaya mereka akan menghabisi kita dan menguasai darah dan harta kita. Mereka adalah orang yang paling bermaksiat terhadap Rabb dan penguasa kita. Kita bertindak sebagaimana tersebut di atas itu hanyalah karena melaksanakan perintah Rabb kita.”
Dengan memahami 3 bentuk muamalah ini, semoga kita lebih berhati-hati dan bersikap tawasut. Yaitu tidak berlebih-lebihan dan tidak menyepelekan. Tidak berlebhian dalam menghukumi orang yang bermuamalah dengan orang kafir hanya karena dirinya melakukan suatu bentuk muamalah yang diperbolehkan. Dan tidak menyepelekan sehingga menganggap bentuk-bentuk tawali menjadi muamalah yang diperbolehkan. Wal ‘iadzubillah..
Cukup banyak buku yang telah ditulis mengenai persoalan ini, yang terpenting adalah yang ditulis oleh para imam dakwah Nejd seperti risalah-risalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kitab ad-Dalail dan Autsaqu ‘Ura al-Iman karya Syaikh Sulaiman bin Abdullah, risalah Sabilu an-Najah wal Fikak karya Syaikh Hamd bin ‘Atiq, jilid kedelapan, kesembilan dan kesepuluh dari kitab ad-Durar as-Sunniyyah, kitab Tuhfatul Ikhwan Bima Ja’a Fil Muwalah Wal Mu’adah Wal Hajran karya Syaikh Hamud at-Tuwaijiri, dan kitab-kitab lain.
Allahu A’lam bishowab
[Team Tabarok – Berbagai Sumber]